Jumat, 14 Januari 2011

Hijrah Menuju Masyarakat Madani

http://yuari.files.wordpress.com/2008/01/words4ever_wallpaper_61.jpg


Hijrah dalam Islam adalah jalan menuju taghyir (perubahan), nasr (kemenangan), izzah (kemuliaan), dan siyadah (kekuasaan). Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya telah melakukan hijrah dari kota Mekah ke kota Madinah dalam rangka melindungi akidah dari ancaman kekufuran dan menuju perubahan masyarakat sekaligus mencapai kemenangan menegakkan ajaran Islam.

Menurut para ulama, hijrah secara fisik terjadi dalam dua bentuk. Pertama, hijrah dari daerah yang membahayakan akidah ke daerah aman, seperti hijrahnya umat Islam ke Etiopia pada awal dakwah Islamiyah. Hijrah bentuk pertama ini diperlukan tapi tidak diwajibkan dan mungkin masih bisa terjadi sampai kapan pun. Kedua, hijrah dari negeri kafir ke negeri iman seperti hijrahnya Nabi dan para sahabatnya dari kota Mekah ke Madinah. Hijrah bentuk kedua ini sudah berakhir dan tidak akan terulang lagi.


Selain itu, masih ada hijrah secara ruhani, seperti dinyatakan sebuah hadis, “Orang yang berhijrah adalah mereka yang meninggalkan semua larangan Allah.” Hijrah yang demikian ini harus kita terapkan dalam kehidupan selama hayat masih di kandung badan.


Proses perubahan

Islam datang ke dunia untuk menyatakan eksistensinya dalam tiga macam tataran: individu, masyarakat, dan kebudayaan. Untuk mencapai perubahan menuju masyarakat madani, Rasulullah Saw mengalami tiga fase.
Pertama, fase pembebasan pemikiran dari pengaruh jahiliyah. Fase ini terjadi di Mekah selama 13 tahun untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kekufuran menuju cahaya Islam. Kendati pengikut dakwah masa itu hanya puluhan, tetapi gerakan pembebasan pemikiran jahiliyah ini berhasil menumbuhkan reformasi pemikiran orang-orang Arab, termasuk para tokohnya seperti Abu Jahal, Abu Sufyan, dan Ahmad bin Syureik.

Kedua, fase pertumbuhan politik. Fase ini dimulai dari hijrahnya Nabi Saw ke Madinah yang siap menerima dakwah Islamiyah. Fase ini sangat penting, karena individu Muslim yang tidak didukung oleh masyarakat yang melindunginya tidak akan mampu menunaikan tugasnya sampai ke tujuan akhir.

Ketiga, fase perubahan sosial. Fase ini dianggap sebagai kelanjutan fase kedua, yaitu pembentukan negara baru yang memenuhi syarat pokok sebagai negara, yaitu tanah, bangsa, dan undang-undang untuk masyarakat Madinah yang menjelaskan watak hubungan antara Muslim dan non-Muslim.

Fase pertama di Mekah merupakan fase perjuangan berat menuju reformasi masyarakat. Selama itu umat Islam tidak pernah menanggalkan senjata sekejap pun menghadapi tekanan dan serangan Quraisy. Bukan senjata pedang, tapi senjata keimanan yang didukung akhlak dan ruhani. Hijrah merupakan fase kedua yang sama beratnya, perjuangan saat hijrah bercirikan dengan petualangan berat menempuh jarak jauh seraya menghindari berbagai hambatan kaum kuffar.

Perjuangan hijrah telah membuahkan kemenangan yang gilang-gemilang, suatu kemenangan berupa kebebasan dari sebuah penindasan selama di Mekah. Muhammad Abdullah As Saman melukiskan kemenangan hijrah ini sebagai kebebasan dari rasa takut menuju keimanan, bebas dari perbudakan menuju kemerdekaan, bebas dari hinaan menuju kemulyaan, bebas dari kesempitan menuju kelapangan, bebas dari kejumudan menuju kedinamisan, bebas dari kelemahan menuju kekuatan, dan bebas dari larangan berpendapat menuju kebebasan berpendapat.

Konotasi kemenangnan dalam Islam lebih cenderung maknawi dibandingkan kemenangan maddi (materiil), karena kemenangan dakwah Islam secara prinsipil berdasar pada kekuatan maknawi dan akidah. Hal ini bukan berarti bahwa kemenangan dakwah tidak memerlukan dukungan kekuatan materi, namun aspek akidah dan maknawi amat menentukan. Allah menyatakan, “Dan persiapkanlah semua bentuk kekuatan untuk menghadapi mereka (musuh).”


Masyarakat madani

Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik Muslim dari Mekah ke Madinah, tapi merupakan fase perubahan menuju kemenangan. Rasulullah Saw tidak menghendaki dakwah Islam terkurung di Mekah. Karena, agama Islam bagaikan air yang amat dibutuhkan oleh orang yang membutuhkannya. Hijrah merupakan titik tolak untuk mendobrak kerusakan akidah umat manusia. Di samping untuk melepaskan kekangan yang membelenggu dakwah Islam di Mekah.

Dalam rangka menuju masyarakat madani, Rasulullah mencanangkan empat sendi. Pertama, akidah Islamiyah sebagai titik tolak menuju tersebarnya Islam ke seluruh dunia. Kedua, masyarakat Islam sebagai titik tolak menuju terciptanya masyarakat terbaik dan moderat. Ketiga, perundang- undangan Islam sebagai awal perubahan menuju kehidupan sejahtera masa kini dan mendatang. Keempat, kekuatan Islam sebagai titik tolak menuju perdamaian internasional.

Di Madinah, akidah Islam sebagai sendi utama memasuki fase baru. Tonggaknya tetap, yang diajarkan di Mekah selama 13 tahun. Manhaj-nya juga sama, menanamkan aqidah shohihah dan menggusur semua kesyirikan. Pada periode madani ini akidah Islam dikaitkan dengan perundang-undangan akhlak. Pada periode Makki, akidah di warnai dengan corak keyakinan dan inti keimanan dakwah, diwarnai penolakan terhadap tradisi-tradisi jahiliyah. Baru di ujung periode Makki akidah ditambah dengab satu amalan wajib yaitu shalat. Sedangkan pada periode madani, akidah Islam menjadi sekumpulan perilaku yang wajib diikuti. Pada Periode ini diwajibkan puasa, zakat, haji, dan lain-lain.

Akidah Islam periode madani menetapkan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan tiga tataran. Pertama, prinsip-prinsip esensi akidah, seperti prinsip bahwa agama itu mudah. Kedua, prinsip yang berkaitan dengan masyarakat Islam, seperti akhirat tidak boleh mengenyampingkan dunia dan dunia tidak boleh menenggelamkan akidah. Ketiga, prinsip yang berkaitan dengan seluruh umat manusia. Di antara prinsip ini adalah memuliakan manusia dengan melepaskan perbudakan dan menanamkan sendi-sendi perdamaian dunia.
Sendi kedua merupakan sendi terpenting dalam melakukan perubahan atau mencapai kemenangan. Akidah, bila tidak ada masyarakat yang mengamalkannya, akan menjadi barang mati. Masyarakat inilah yang dibangun Rasulullah sejak di Mekah dan diteruskan di Madinah. Setelah bebas dari hambatan Quraisy Rasulullah leluasa membangun “masyarakat Islam baru”. Antara lain, yakni membangun Masjid sebagai Islamic Centre pembinaan dan pendidikan umat. Juga, merealisasikan ukhuwah Islamiyah antara muhajirin dan anshar. Kemudian, meletakkan sendi-sendi perekonomian masyarakat dan meletakkan undang-undang hubungan antaranggota masyarakat.

Sendi ketiga adalah meletakkan dasar-dasar tasyri’ (perundang-undangan) Islam, untuk membentuk masyarakat dan mengatur hubungan antaranggota masyarakat. Tasyri’ Islam yang diletakkan di Madinah telah mencapai derajat kesempurnaan dan bisa memenuhi kebutuhan umat manusia sampai kapan pun. Bila diterapkan secara utuh di masyarakat akan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

Sendi keempat adalah kekuatan Islam. Ketika dakwah memasuki fase madani, dan mulai membangun masyarakat Islami, tidak boleh tidak ia harus memiliki kekuatan. Dengan kekuatan ini umat Islam akan mampu menyebarkan prinsip-prinsip ajaran ke setiap tempat dan sekaligus bisa melindungi diri dari serangan musuh-musuh. Bahkan, bisa mempertahankan kelompok mustadh’afin (lemah) dari tindakan kaum kuffar.

Itulah empat sendi reformasi yang diletakkan Rasulullah dalam mencapai kemenangan dakwah Islam di bumi ini dan membentuk masyarakat madani. Di awal tahun hijrah ini selayaknya kita merenungi hakikat dan esensinya dalam merealisasi reformasi menggapai kemenangan dan berupaya membentuk masyarakat madani yang diidamkan.

Dr. Achmad Satori
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI)
eramuslim

Menatap Wajah Allah SWT



Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta surga dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya orang-orang bekerja keras untuk mendapatkannya.”
Nabi Musa pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Allah SWT seperti yang tertera di ayat 143 surat Al-A’raf.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”

Ada tujuh pelajaran dari ayat di atas:
  1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa bahwa ia meminta sesuatu yang tidak diperkenankan oleh Allah swt.
  2. Allah tidak memungkiri permintaan Nabi Musa.
  3. Allah menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Bukan mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”
  4. Allah Mahakuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di tempatnya, dan ini bukan hal mustahil bagi Allah, itu merupakan hal yang mungkin. Hanya saja dalam hal ini Allah juga mempersyaratkan adanya proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal itu merupakan sesuatu yang mustahil, sudah tentu Allah tidak akan mempersyaratkan hal itu.
  5. Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya melihat Allah swt. Jika boleh bagi-Nya menampakkan diri kepada gunung, bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada para nabi, rasul, dan wali-Nya di kampung akhirat?
  6. Di ayat itu Allah swt. memberitahu kepada Nabi Musa bahwa gunung saja tidak mampu melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih lemah dari gunung.
  7. Allah swt. telah berbicara dengan Nabi Musa. Nabi Musa juga telah mendengar perkataan Allah swt. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.


Dalil Bertemu Allah

1. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

2. Penghormatan kepada mereka (orang-orang beriman) pada hari mereka menemui-Nya adalah salam. (Al-Ahzab: 44)
Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.

3. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih. (Al-Kahfi: 110)
Katakanlah: Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

4. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah. (Al-Baqarah: 249)
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka dia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Para ahli bahasa sepakat bahwa jika liqa’ itu dinisbahkan kepada yang hidup, yang selamat dari gangguan kebutaan dan penghalang lainnya. Maka, hal itu menuntut adanya penglihatan dengan mata.


Bagaimana Dengan Ayat 103 Surat Al-An’am?

Laa tudriku hu al-absharu wa huwa yudriku al-abshara wa huwa al-lathiifu al-khabiir.
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.

Kata Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat daripada menunjukkan tidak bisa dilihat. Allah menyebutkannya dalam konteks memberikan pujian. Sudah maklum bahwa pujian terhadap diri-NYa adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika tidak ada, maka tidak sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”

Ibnu Taimiyah menambahkan, “Hanya saja Allah itu dipuji dengan tidak adanya sesuatu bila sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya, sebagaimana pujian terhadap diriNya dengan menafikan kantuk dan tidur yang mencakup kesempurnaan terus-menerusnya Allah mengurus makhluk-Nya; menafikan kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta menafikan capek dan letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”

Ibnu Taimiyah lalu menegaskan, “Oleh karena itu, Allah tidak memuji diri-Nya dengan ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab, sesuatu yang ditiadakan (ma’dum) itu menyertai yang disifati berkenaan dengan ketiadaan itu. Sesuatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa disifati dengan hal yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika saja yang dimaksud oleh firman Allah swt. laa tadrikuhu al-abshaaru adalah bahwa Dia tidak bisa dilihat dalam kondisi apa pun, maka dalam hal ini tidak ada pujian maupun kesempurnaan, karena yang tiada juga demikian. Sesuatu yang tiada jelas tidak bisa dilihat dan tidak bisa ditangkap dengan penglihatan, sedangkan Rabb jelas Mahatinggi untuk dipuji dengan sesuatu yang juga terdapat pada sesuatu yang jelas tidak ada. Dengan demikian, makna dari ayat di atas adalah bahwa Ia tetap bisa dilihat namun tidak bisa ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.”

Maka, kata Ibnu Taimiyah, “Firman Allah laa tudrikuhu al-abshaaru menunjukkan puncak dari keagungan Allah. dan bahwa Dia lebih Besar dari segala sesuatu. Dan juga, karena keagunganNya, Dia tidak bisa ditangkap atau dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah lebih dalam daripada ru’yah (melihat).”

Liqa’ullah Adalah Az-Ziyadah
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada “pahala yang baik” (surga) dan “tambahannya”. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)

Menurut Ibnu Qayyim, yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu adalah al-jannah (surga), sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah (tambahan) adalah memandang wajah Allah Yang Mulia. Ini adalah tafsir Rasulullah saw. atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.

Rasulullah membaca ayat lilladzina ahsanu al-husna wa ziyadah, lalu bersabda,  
“Jika ahli surga sudah masuk ke dalam surga, demikian juga ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka ada seorang malaikat yang menyeru: Wahai ahli surga, sesungguhnya kalian telah dijanjikan di sisi Allah, maka sekarang Allah hendak menunaikan janji itu kepada kalian. Mereka berkata: apakah janji itu? Bukankah Dia telah membuat berat timbangan kebaikan kami dan telah membuat putih (cerah) wajah kami, serta telah memasukkan kami ke dalam surga dan mengeluarkan kami dari neraka? Akhirnya, tabir pun dibuka lalu mereka bisa melihat kepada-Nya. Sungguh tidak ada sesuatu yang telah Dia berikan kepada ahli surga yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan ziyadah.”

Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik berkata, “Yang dimaksud adalah melihat Wajah Allah swt.” saat menafsirkan ayat: 
"lahum maa yasyaa-una fiihaa wa ladainaa maziid,"
"mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya." (QS. Qaf: 35).


Melihat Dengan Mata Kepala

"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada RabbNya."(Al-Qiyamah: 22-23)

Ayat ini menegaskan dengan gamblang bahwa Allah akan dilihat dengan mata kepala secara langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini banyak hadits berderajat mutawatir.

Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id dalam Shahihain menceritakan bahwa para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” Rasulullah saw. menjawab, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat bulan pada saat purnama?” Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat matahari pada saat tidak ada awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau kemudian bersabda, “Seperti itu juga kalian melihat Rabb kalian.”

Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Allah pada hari kiamat nanti dengan mata kepala mereka.”


Orang Kafir Tidak Akan Melihat Allah

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. (Al-Muthaffifin: 14-15)

Dan salah satu bagian dari hukuman terbesar terhadap orang-orang kafir adalah mereka terhalang untuk melihat Allah dan terhalang dari mendengar perkataan-Nya.

Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menjelaskan tentang ayat itu, “Ketika mereka itu terhalang dari melihat Rabb mereka karena mereka dalah orang-orang yang dibenci atau dimurkai Allah, maka ini menjadi bukti bahwa wali Allah itu akan melihat Allah karena Allah meridhai mereka.”

Lalu Ar-Rabi’ bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau mengatakan demikian?” Ia menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku menundukkan diri diri di hadapan Allah. Kalau saja Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia akan melihat Allah tentu ia tidak mau menghambakan diri kepada-Nya.”

Oleh: Mochamad Bugi

Sumber: www.dakwatuna.com

Tahukah Kamu, Di Manakah Allah?

http://majalah.hidayatullah.com/wp-content/uploads/2010/12/allah_wallpaper_by_aram287.jpg


Ada sebuah pertanyaan penting yang cukup mendasar bagi setiap kaum muslimin yang telah mengakui dirinya sebagai seorang muslim. Setiap muslim selayaknya bisa memberikan jawaban dengan jelas dan tegas atas pertanyaan ini, karena bahkan seorang budak wanita yang bukan berasal dari kalangan orang terpelajar pun bisa menjawabnya. Bahkan pertanyaan ini dijadikan oleh Rasulullah sebagai tolak ukur keimanan seseorang. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana Allah?”.

Jika selama ini kita mengaku muslim, jika selama ini kita yakin bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah, jika selama ini kita merasa sudah beribadah kepada Allah, maka sungguh mengherankan bukan jika kita tidak memiliki pengetahuan tentang dimanakah dzat yang kita sembah dan kita ibadahi selama ini. Atau dengan kata lain, ternyata kita belum mengenal Allah dengan baik, belum benar-benar mencintai Allah dan jika demikian bisa jadi selama ini kita juga belum menyembah Allah dengan benar. Sebagaimana perkataan seorang ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: “Seseorang tidak dapat beribadah kepada Allah secara sempurna dan dengan keyakinan yang benar sebelum mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala” (Muqoddimah Qowa’idul Mutsla).

Sebagian orang juga mengalami kebingungan atas pertanyaan ini. Ketika ditanya “dimanakah Allah?” ada yang menjawab ‘Allah ada dimana-mana’, ada juga yang menjawab ‘Allah ada di hati kita semua’, ada juga yang menjawab dengan marah sambil berkata ‘Jangan tanya Allah dimana, karena Allah tidak berada dimana-mana’. Semua ini, tidak ragu lagi, disebabkan kurangnya perhatian kaum muslimin terhadap ilmu agama, terhadap ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah yang telah jelas secara gamblang menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini, bak mentari di siang hari.


Allah Bersemayam di Atas Arsy

“Dimanakah Allah?” maka jawaban yang benar adalah Allah bersemayam di atas Arsy, dan Arsy berada di atas langit. Hal ini sebagaimana diyakini oleh Imam Asy Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, murid-murid saya, dan para ahli hadits yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya, seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya” (Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah, Bab 4). Demikian juga diyakini oleh para imam mazhab, yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali), tentang hal ini silakan merujuk pada kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah karya Muhammad bin Abdirrahman Al Khumais.

Keyakinan para imam tersebut tentunya bukan tanpa dalil, bahkan pernyataan bahwa Allah berada di langit didasari oleh dalil Al Qur’an, hadits, akal, fitrah dan ‘ijma.

1. Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala dalam Al Qur’anul Karim banyak sekali mensifati diri-Nya berada di atas Arsy yaitu di atas langit. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy (QS. Thaha: 5)
Ayat ini jelas dan tegas menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang” (QS. Al Mulk: 16)
Juga ayat lain yang artinya:
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij: 4). Ayat pun ini menunjukkan ketinggian Allah.

2. Dalil hadits
Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam, bahwa ia berniat membebaskan seorang budak wanita sebagai kafarah. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji budak wanita tersebut. Beliau bertanya: “Dimanakah Allah?”, maka ia menjawab: “ Di atas langit”, beliau bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda utusan Allah”. Lalu beliau bersabda: “Bebaskanlah ia karena ia seorang yang beriman” (HR. Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda yang artinya:
“Setelah selesai menciptakan makhluk-Nya, di atas Arsy Allah menulis, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku’ ” (HR. Bukhari-Muslim)

3. Dalil akal
Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah). Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw (Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)

4. Dalil fitrah
Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan? Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.
Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak serupa dengan makhluknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)

Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya. Imam Malik pernah ditanya dalam majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam? Maka beliau menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam Qur’an dan Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya, menanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu (penanya) sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya keluar dari majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)


Allah Bersama Makhluk-Nya

Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Allah bersamamu di mana pun kau berada” (QS. Al Hadid: 4)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat. Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan antara dua pernyataan tersebut.

Karena kata ma’a (bersama) dalam ayat tersebut, bukanlah kebersamaan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk, karena Allah tidak serupa dengan makhluk. Dengan kata lain, jika dikatakan Allah bersama makhluk-Nya bukan berarti Allah menempel atau berada di sebelah makhluk-Nya apalagi bersatu dengan makhluk-Nya.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjelaskan hal ini: “Allah bersama makhluk-Nya dalam arti mengetahui, berkuasa, mendengar, melihat, mengatur, menguasai dan makna-makna lain yang menyatakan ke-rububiyah-an Allah sambil bersemayam di atas Arsy di atas makhluk-Nya” (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha) .

Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin, Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat Qur’an, yang artinya:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)

Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu dengan pertolongan-Nya, dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku qoriib (dekat). Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu” (QS. Al Baqarah: 186)

Dalam ayat ini pun kata qoriib (dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana dekatnya makhluk dengan makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang ketakutan. Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga Allah berfirman ‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”. Kemudian dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa masalah. Dan kedekatan Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan ilmu-Nya terhadap seluruh makhluk-Nya, dan dekatnya Allah kepada hambaNya yang berdoa untuk mengabulkan doanya” (Tafsir As Sa’di). Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel atau bersebelahan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan mudah. Dalam bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya, dan bukan berarti rumah mereka bersebelahan.

Kaum muslimin, akhirnya telah jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi berada dekat dan selalu bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati kita. Allah tahu segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat buruk dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka masih beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan segala perintah-Nya?

Allah tahu hamba-hambanya yang butuh pertolongan dan pertolongan apa yang paling baik. Allah pun tahu jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya. Allah dekat dengan hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka. Maka, masih ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah? Padahal Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian, masih ragukah kita bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa kita tanpa butuh perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari perantara dari dukun, paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah. Wallahul musta’an

Yulian Purnama

Sumber: buletin.muslim.or.id

Membantah Ulil Abshar

ul


Dengan gayanya yang khas, Ulil Abshar Abdalah ( pentolan JIL) ketika mengisi acara “debat” di salah satu stasiun TV swasta beberapa hari yang lalu mengatakan bahwa penegakkan syariah dalam bingkai Negara khilafah Islamiyah merupakan sebuah ancaman bagi Indonesia. Hal itu pun di bantah oleh Ust. Ismail Yusanto (Jubir HTI) dengan mengatakan bahwa justru sebaliknya, kapitalisme lah ancaman yang sebenarnya. Syariah Islam itu untuk Indonesia yang lebih baik.

Indonesia adalah Negri yang dikenal dengan “zamrud katulistiwa” yang sarat kekayaan alam. Hamparan laut nan luas, sawah yang menghampar gunung-gunungnya yang kokoh, juga jutaan hektar hutan yang menawarkan banyak kehidupan. Namun bagaimana nasibnya kini?

Tapi apa mau dikata, negri ini masih menangis. Indonesia kaya, namun kaya akan utang. Rakyatnya pun masih banyak yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Menurut tim sukses salah satu capres dan cawapres RI pada pemilu kemarin, Hasdjim djodjo hadikusumo menyebutkan; jika menggunakan standard Bank Dunia, di mana hampir sekitar 49 persen masyarakat Indonesia hidup dengan standar kurang dari dua dolar AS per hari alias miskin.(Liputan6.com 30/06/2009).

Sektor politik, Indonesia baru saja melaksanakan hura-hura politik dengan penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden yang menembus biaya mencapai puluhan triliyun rupiah. Sekali lagi masyarakat harus dibuat kembali gigit jari, karena seperti halnya pemilu-pemilu yang sebelumnya, pesta demokrasi kali ini tidak akan mampu memberikan perubahan yang berarti.

Di bidang sosial, Associated Press (AP) beberapa waktu lalu telah menobatkan Indonesia sebagai jawara kedua surganya pornografi setelah Rusia. Lebih jago satu tingkat dibandingkan dengan raihan prestasi Zivanna Letisha Siregar, Puteri Indonesia 2008 yang tampil seksi dengan bikini two pieces di sesi pemotretan busana pantai pada gelaran Miss Universe 2009, yang berhasil menyodok peringkat ke tiga, meskipun pada akhirnya ia tidak mampu bertahan di posisi 15 besar dalam ajang ratu kecantikan sejagad itu.

Yang tak kalah memprihatinkan adalah meningkatnya aliran-aliran sesat yang mengancam akidah umat. Menjamurnya tindak pidana korupsi, tindakan kriminalitas, kasus-kasus pelecehan seksual, HIV Aids, Narkoba dan lain sebagainya semakin memperparah keadaan. Maka tidak salah jika kita sebut, negara “gemah ripah loh jinawi” ini sedang mengalami krisis multidimensi.


Akar Masalah

Ibarat seorang dokter yang mendiaknosis sebuah penyakit, maka dapat ditemukan bahwa akar masalah dari semua problematika ini ternyata adalah terletak pada sistemnya. Mengingat Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini sudah enam kali berganti pucuk pimpinan. Rotasi wakil rakyat yang duduk di senayan-pun sudah berulang kali dilakukan. Hasilnya nihil, Indonesia belum mampu bangkit.

Jadi benar orang banyak bilang “sistem yang jelek itu bisa membuat orang jadi bersifat jelek, meskipun sebelumnya bersifat baik. Begitu juga sebaliknya, sistem yang baik bisa membuat orang menjadi bersifat baik, meskipun sebelumnya bersifat jelek. Apalagi yang sebelumnya sudah baik”

Kemudian pertanyaanya sistem seperti apa yang mampu menyelamatkan Indonesia?. “Guru terbaik adalah pengalaman” Begitu kata orang bijak. Secara factual Indonesia juga sudah beberapa kali berganti sistem. Kita runut saja, pada masa orde lama corak aturan yang digunakan adalah corak Ideologi sosialisme. Hasilnya tidak memuaskan.Kemudian tampilah era ordebaru yang berlanjut ke era reformasi dengan corak kapitalisme. Outputnya seperti yang kita alami sekarang ini. Indonesia masih tertatih-tatih.


Syariah Islam untuk Indonesia yang lebih baik

Kalau mau jujur, tampaknya satu-satunya sistem yang belum pernah dicoba di negri ini hanyalah sistem Islam. Merujuk bahwa Ideologi yang ada didunia ini hanya ada tiga, yakni; Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme. Yang lain walaupun mengklaim sebagai Ideologi namun sejatinya bukanlah ideologi karena rumusan-rumusanya-pun juga mengambil dari ketiga Ideologi tersebut.

Dengan sistem Ekonomi Islam, masalah perampokan kekayaan alam akan teratasi dengan kejelasan distribusi kekayaan yang terperinci, dimana Islam membagi kepemilikan dalam tiga bagian; kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. (lihat: An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam). Hal ini telah di tegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabda beliau:
”Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput dan api“ (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)

Dengan begitu hal-hal yang masuk dalam kategori kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh pihak asing maupun swasta, melainkan akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Berdasarkan syariah Islam, negara harus menjamin kesejahteraan masyarakat, menjamin kebutuhan pokok tiap individu masyarakat. Syariah Islam juga mewajibkan Khalifah untuk menjamin pendidikan dan kesehatan rakyatnya secara gratis.
Dengan Politik Islam maka hal-hal pemborosan dan kemubadziran itu tidak akan terjadi, sebab dalam pandangan Islam, bahwa politik adalah ”mengatur urusan ummat” bukannya ”mengatur urusan pejabat”.

Sehingga mekanisme dalam pemilihan pejabat negara maupun Khalifah dapat dilaksanakan dengan sederhana serta biaya yang murah, dengan mutu dan kwalitas nomor wahid. Para pemimpin ummat tidak akan berani mendzalimi rakyatnya, mereka sangat takut akan peringatan dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw bersabda:
“Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam al-Bukhari dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.)

“Tidak ada seorang hamba yang diamanatkan oleh Allah untuk mengurusi rakyatnya, kemudian ia meninggal dalam keadaan sedang menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan sorga baginya.” (HR. al-Bukhari: 6618 dan Muslim: 203)

Dengan syariah Islam maka kehidupan sosial masyarakat akan semakin nyaman, sangat sulit ditemukan hal-hal yang bisa mengganggu keimanan. Para Muslimah akan tampil lebih cantik dengan jilbabnya, pergaulan masyarakat dibangun dengan suasana keislaman dengan penuh semangat persaudaraan.

Sedangkan sistem persanksian Islam adalah merupakan palang pintu terakhir untuk menyelesaikan permasalahan kriminalitas dengan efektif dan efisien. Ditambah rumus-rumus Islam lain yang siap menghapus krisis Multidimensi di negri ini. Termasuk didalamnya menuntaskan permasalahan pendidikan, pertanian, militer, dan bidang-bidang lainya. Indonesia akan selamat jika mau diatur dengan wahyu Ilahi. Bukan system yang di buat oleh manusia itu sendiri.  
Jadi salah besar jika dikatakan bahwa syariah Islam merupakan ancaman bagi Indonesia.
Wallahu a’lam bi ash shawab.

Ali Mustofa Online
Sumber: mustofa.web.id

Menghadang Pluralisme

Adian_Pluralisme-Agama-b


Akhir-akhir ini, bersamaan dengan wafatnya Gusdur sang “Bapak Pluralisme”, para penganut paham pluralis benar-benar memanfaatkan untuk menyebarkan ide-ide batilnya. Berbagai media cetak maupun elektronik begitu jor-joran menyajikannya ke tengah-tengah masyarakat. Sebuah paham yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat melebihi ancaman bom.
Paham pluralisme adalah paham yang sangat berbahaya bagi umat karena bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Inti dari ajaran pluralisme adalah mengajarkan bahwa semua agama sama.

Bila merujuk dengan Fatwa MUI pada tahun 2005, yang dimaksud dengan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatife; oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. (Fatwa MUI Tahun. 2005).

Padahal jelas Allah SWT menyatakan bahwa agama yang diridhoi-Nya hanyalah Islam. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”. (QS.Ali Imran: 19).

Jika di telisik, Proses sipilis (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme) di Indonesia sendiri sebenarnya muncul dengan tidak tiba-tiba, pada tahun 1970an, Nur cholis masjid tampil ke permukaan bagai pahlawan kesiangan dengan semboyan yang lumayan terkenal yakni “Islam yes, partai Islam No”. Pernah ia mengatakan bahwa fundamentalis agama lebih berbahaya dari narkoba.

Dibelakang cak Nur berjajar nama-nama seperti Mukti Ali (menteri agama), Munawir Sadzali, Harun Nasutioan (rector IAIN syarif hidayatullah waktu itu). Para pelajar dari Indonesia dikirim ke Barat kemudian di cuci otaknya, setelah pulang membawa oleh-oleh buah pemikiran asing (sipilis) (Suara Islam, 21/12/07).

Pada dekade ini, proyek sipilis disokong oleh lembaga-lembaga internasional semacam The Asia Foundatioan,Australia Aid, USAid, Yayasan Tifa, dan lembaga lainya. Mereka mengucurkan dana sampai jutaan Dolar AS guna memuluskan proyek liberalisasi ini ( Suara Islam, 21/12/2007).

Bahkan salah seorang tokoh sipilis Ulil Abshar Abdhala pernah mengatakan kepada hidayatullah.com bahwa beberapa ormas Islam juga ketiban gemerincing dolar dari lembaga Internasional The Asia Foundation untuk melancarkan program liberalisasi ini. “Selain kami ada juga ormas Islam yang menerima dana dari TAF program Islam and Civil Society. Mereka itu adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo, dan Departemen Agama. Dana yang diterima JIL jauh lebih kecil daripada mereka”. Ungkap ulil. (Hidayatullah.com, Desember 2004).

Menurut Dr. Adian Husaini,ada tiga progam pokok liberalisasi yang di usung oleh mereka, yakni Liberalisasi dalam aqidah Islam (Pluralisme agama), liberalisasi konsep wahyu (menggugat otentisitas mushaf utsmani) dan Liberalisasi syariah dan akhlak.(Liberalisasi Islam di Indonesia, 2006).

Untuk itu kita tidak boleh membiarkan hal ini begitu saja. Perang pemikiran harus selalu digalakkan semampunya.Tentu kita tidak rela mereka melakukan inviltrasi ke ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan ormas lainya.

Sikap tidak terus terang dan cenderung menyembunyikan kebenaran hanya akan memperkeruh keadaan dan mengaburkan yang haq. Sebagai contoh, Sikap mendukung penyematan gelar pahlawan kepada tokoh Pluralisme seperti yang dilakukan oleh beberapa parpol Islam seharusnya tidak perlu terjadi. Karena hal ini akan menimbulkan asumsi di masyarakat bahwa orang yang menyebarkan ide pluralisme itu berhak mendapatkan apresiasi positif. Implikasinya masyarakat bisa jadi akan meneladani sikap dan pola pikir tokoh tersebut.

Sikap yang seharusnya diambil adalah mengcounter pemikiran batil yang di opinikan ke tengah-tengah masyarakat ini melalui dakwah secara masif, menjelaskan kebatilan ide pluralisme ke tengah-tengah umat. Tidak ada kompromi dan bersikap tegas menentang terhadap pemikiran yang membahayakan aqidah ini.
Demikian seharusnya sikap kaum muslim, yaitu menyampaikan dakwah secara terang-terangan, menentang segala adat, kebiasaan, ide-ide sesat dan persepsi yang salah, bahkan akan menentang opini umum masyarakat kalau memang keliru.

Menjadi sebuah keniscayaan bahwa bentrok antara yang haq dengan bathil akan selalu ada ditengah-tengah kehidupan. Namun yakin, yang bathil pasti lenyap. Allah SWT telah menegaskan:
“Katakanlah : Telah datang yang haq (kebenaran) dan telah lenyap yang batil atau yang palsu. Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap. (Al Israa’ 81).

Karena itu, siapapun yang di dalam hatinya tertancap kalimat “La ilaha ilallah Muhammad Rasulullah” harus mengingkari paham Pluralisme ini.  
Wallahu a‘lam bi ash-ash-shawab.

Ali Mustofa Online 
Sumber: mustofa.web.id 

Arang Pluralisme di Wajah Islam



Oleh: Zahrul Bawady M. Daud

Membahas terma pluralisme, tak akan terlepas daripada fakta sejarah munculnya isme yang sedang merebak ini. Di dalam What Went Wrong, Bernard Lowis mengungkapkan bahwa Kristen selalu diliputi oleh skisma (perpecahan). Perpecahan yang tak kunjung reda, bahkan menimbulkan pertikaian berdarah. Selanjutnya, masa kelam itu kembali dikukuhkan dengan hegemoni Kristen atas setiap kehidupan manusia. The dark ages (zaman kegelapan) yang dikenal ilmuwan Kristen, merupakan puncak daripada kegagalan gereja membuang sekte di dalamnya.

Hal ini kemudian membuat beberapa pengambil kebijakan di dalam gereja untuk mengambil sikap, guna menghindari pandangan buruk masyarakat terhadap kalangan gerejawan. Akhirnya, ditemukanlah model toleransi dalam menjalankan agama yang terlepas daripada sekte atau agama manapun yang dianut. Kegagalan agung daripada distorsi ajaran Kristen yang berdampak kepada konsep baru yang hari ini kita kenal dengan pluralisme beragama. Sebuah isme yang lahir dari kebingungan dan berkembang karena ketakutan Kristen bila pengikut mereka akan lari.


Munculnya Pluralisme disebabkan oleh fakta sejarah lain yang diakui oleh penulis penulis Kristen, mereka menyebut dogma Kristen pada masa ini adalah dominasi negara dan agama. Bahkan tak jarang dominasi ini dipraktikkan secara brutal dan tidak manusiawi, hal ini oleh Karen Amstrong ditulis akibat munculnya sebuah institusi gereja yang diberi nama inquisisi, sebuah instrumen kekejaman yang membawahi berbagai gerak keagamaan. Tak hanya gereja saja, Institusi yang populer pada abad ke 17 merupakan perpanjangan tangan dari dominasi gereja di abad pertengahan.

Dalam membangun kekuatan hegemoniknya, mereka mengembangkan sayap melalui upaya pengukuhan agama via negara, dalam arti kata tak terbatas. Kristen pada masa itu tidak sekedar agama, akan tetapi kekuatan politik yang diback up oleh pihak penguasa. Sebuah shock terapy pasca penindasan yang dilakukan oleh imperium Romawi. Keresahan inilah yang kemudian mengilhami para pemikir untuk membuat sebuah rumusan baru dalam ranah pluralisme, menanamkan sebuah doktrin baru, bahwa semua agama adalah sama.

Doktrin ini kemudian menjalar menggerogoti akidah umat Islam. Evolusi yang terjadi di kalangan kristen coba merambah sendi kokoh daripada ajaran Islam. Jika dulu Kristen gagal memegang dominasi karena penyelewangan sejarahnya, maka hal ini belum tentu terjadi di dalam Islam. Hal yang paling fatal dilakukan oleh para pemikir kita yang kebablasan adalah, menggunakan metode pengobatan yang menghilangkan penyakit kekuasaan tak terbatas milik gereja terhadap ajaran Islam. Sebuah hipotesa untuk dua penyakit yang tidak sama tingkat ke-akutannya.

Perbedaan yang sangat mencolok, Islam tidak mengenal arti sebuah institusi bergerak atas nama Tuhan, walaupun ia melakukan sebuah kesalahan. Jika institusi geraja pada masa itu mengklaim bahwa mereka adalah wakil Tuhan di bumi, berhak membakar manusia atas dasar kesalahannya yang serba tuduhan, maka perspektif ini tidak kita temui dalam ajaran Islam. Kebenaran di dalam Islam adalah sebuah pemahaman yang bersumber dari dalil yang jelas. Kesalahan setiap individu itu tidak dinamakan sebagai sebuah kesalahan sistem agama, tetapi karena kecerobohan individu tertentu saja. Islam tidak mengenal istilah Paus yang infallible (ma’shum; terlepas dari dosa). Seseorang tidak bisa berlaku dosa dengan legalitas kegamaan. Hal yang secara indah diakui oleh Karen, “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire.”
Problema kitab suci juga tidak memiliki kesamaan. Teks Bible yang kita jumpai hari ini merupakan penyelewangan dari kalangan gerejawan demi membenarkan sektenya masing masing, penuh kontradiksi satu sama lainnya. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam.” Jikapun ingin menamakan keduanya sebagai mukjizat, maka hal itu tidak lagi relevan saat ini. Al-Quran adalah kitab terkahir, sebuah kitab suci yang terjaga, menanamkan nilai kejujuran dan tidak rentan dengan perubahan. Ini disebabkan keotentikan AL-Quran berada dalam justifikasi Allah Swt. Tren ini hanya berlaku bagi Kristen yang tidak bisa melakukan truth claim(klaim kebenaran) akibat konsep teologi dan riualnya yang penuh dengan problema. Sebuah generalisasi permasalahan yang salah arah.
Pluralisme merupakan sikap trauma beragama yang menjamur di dalam peradaban Barat versus Kristen. Karena kerentanan yang terdapat dalam teologi Kristen, fakta historis dan desakralisasi wahyu adalah akibat daripada distorsi ajaran Kristen itu sendiri. Hal demikian tidak terdapat di dalam ajaran Islam. Sehingga konsep pluralisme tidak layak diterapkan dalam kehidupan beragama, khususnya tidak sesuai dengan etika Islam.

Ajaran pluralisme dalam hemat penulis pada hakikatnya sedang menopang upaya dekonstruksi ajaran Islam serta menghilangkan kemurnian wahyu. Oleh JIL Indonesia, hal ini coba dikukuhkan melalui Fikih Lintas Agama (FLA), besutan intelektual Islam yang latah dengan teori Barat. Sebuah upaya kontekstual yang bersifat ekstrim dan bertolak belakangan dengan makna pluralisme itu sendiri.

Lebih jauh, konsep agama di dalam Islam adalah mutlak harus ada. Kewujudan Tuhan adalah satu satunya kepercayaan awal yang harus muncul di benak kita untuk beriman. Karakteristik yang paling mendasar dalam ajaran Islam adalah, kepercayaan kepada Tuhan, berdasarkan konsep din (agama/wahyu) yang bersifat menyatukan prinsip spiritual dan material. Oleh karena itu, keseluruhan sistem untuk menggapai sebuah tujuan penciptaan disebut dengan agama ( Islam).

Usaha penyebaran paham pluralis ini adalah sebuah upaya relevansi berbagai ajaran yahudi dan Kristen yang telah usang. Tak memperoleh cara lain, mereka mencoba menyusup ke dalam teori pluralisme yang secara jelas terpampang boroknya. Jika semua agama telah diragukan kebenarannya, maka ini sudah keluar dari sebab dan tujuan kita beragama, yaitu memperloh cahaya di dalam satu jalan. Maka pluralisme agama itu lebih dekat dengan paham atheisme, tidak dengan Islam.


Relativitas Ilmu

Di dalam konsep pengetahuan, kita mengenal istilah relativitas. Sebuah konsep yang menunjukkan bahwa segala sesuatu yang terjadi, bergantung kepada pola piker orang yang melihat kejadian tersebut. Semuanya serba berubah, ragu dan penuh ketidak pastian. Misalnya teori kejadian alam, bumi yang bersifat heliosentris, teori Darwin dan berbagai teori lainnya yang terus menyusut atau berkembang sesuai dengan jangkauan berfikir manusia. Fenomena ini menandakan bahwa pengetahuan manusia yang berdasarkan kepada akal bersifat relatif.

Namun, relativitas di dalam pengetahuan tidak diakui oleh ajaran Kristen. Kenyataan ini menimbulkan problema, ilmuwan terancam harus tunduk di bawah otoritas karangan bible dan gereja, padahal bible sendiri mengalami permasalahan otentisitas. Pada masa ini, tercatat sejumlah ilmuwan mengalami benturan dengan Gereja dalam soal ilmu pengatahuan, seperti Gelileo Galilei (1546-1642) dan Nicolaus Copernicus (1473-1543). Bahkan Giordano Bruno (1548-1600), pengagum Nicolaus Copernicus dibakar hidup-hidup.
Akan tetapi, di dalam Islam, ada istilah qath’i (mutlak), di dalam epistimologi Islam, teori ini biasanya berdasarkan kepada berita yang mutawatir, baik lafaz maupun makna. Konsep relativitas tidak berlaku di dalam pembahasan yang sudah mutlak dan tetap (tsabit). Seperti Tuhan itu Esa, kewajiban melakukan shalat, melaksanakan puasa dan berbagai ibadah mahdhah (utama) dan hal hal yang berkaitan dengan akidah seorang muslim.

Oleh karena itu, penyebutan Tuhan sebagai “The real” yang secara kebetulan dicocokkan dengan kata arab “ Al-Haq” bukanlah representatif dari kebenaran Tuhan. Karena the real yang dikenal dalam kamus pluralis adalah semua yang bersifat kebaikan. Dalam pemahaman ini, tindakan amoral adalah hanya kesalahan norma, bukan agama. Sebuah landasan berpikir yang tidak sesuai dengan konsep Islam sebagai satu satunya agama yang diridhai. Destruktifikasi ajaran keagamaan ini timbul akibat latah mengikuti pandangan Barat yang penuh dengan dilema.

Hakikat intelektualitas adalah pusat manusia (centre of human being) yang bersemayam di dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral spritual. Jika tidak, maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Kekokohan intelektual baru tercakup jika sudah diwarnai dengan tindakan spiritual yang benar. Lalu, jika semua agama relatif, untuk apa kita beragama, bukankah dalam pandangan ini semua memiliki kemungkinan. Maka jangan campur adukkan relatifitas pengetahuan dengan relatifitas ajaran yang sudah konstan. Teori pluralisme bukan mendobrak kejahilan, tetapi memamerkan kebodohan dengan pemahaman akal yang terbatas. Jika akal sudah tunduk untuk mencerna, maka berilah kesempatan kepada wahyu untuk mengeluarkan instrumennya. Karena kepercayaan kepada wahyu, adalah inti daripada beragama yang sesungguhnya.

Dimuat di aceh institute: http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=774:arang-pluralisme-di-wajah-islam&catid=133:paradigma&Itemid=261

Pluralisme Bukan Solusi




PLURALISME BUKAN SOLUSI; (Tanggapan terhadap tulisan Teuku Jafar Muhammmad Sulaiman)
Written By|Muhammad Husni Mukhtar[1]

Teuku Jafar Muhammad Sulaiman (TJMS) dalam tulisannya “Syariat Islam Tidak Perlu Dibela” mengemukakan pendapatnya tentang penerapan Syariat Islam di Aceh. Menurutnya, Syariat Islam yang sedang berjalan di Aceh saat ini masih perlu kita “rekayasa”—begitu bahasa yang Teuku Jafar gunakan. Untuk menguatkan pendapatnya, TJMS tidak sungkan-sungkan mengutip beberapa pendapat pakar untuk ‘melegalisasi’ pandanganya.

Apa yang TJMS tawarkan dalam tulisan tersebut sama sekali tidak ada hal baru. Gaung pluralisme sudah lama terdengar di berbagai belahan dunia Islam. Para ulama Islam pun sudah menulis karangan-karangan yang menolak pemikiran-pemikiran seperti itu. Namun, kali ini tulisan tersebut ingin membangkitkan pemikiran-pemikiran itu dalam konteks pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Bolehlah akhirnya kita katakan tulisan itu sebagai sebuah ide tua, namun sedang dimainkan di lapangan baru.

Pemikiran TJMS yang dituangkan dalam tulisan tersebut tak lebih dari sebuah penerapan dari pandangan para orientalis terhadap Islam. Sayangnya, penerapan tersebut tidak melalui sebuah analisa yang ilmiah. Dalam literatur Islam, mengikuti pendapat seseorang tanpa menganalisa terlebih dahulu, biasa kita kenal dengan istilah “taklid”.


Dalam pembahasan tentang syariat Islam, sangatlah perlu untuk kita tampilkan juga referensi utama dari Islam itu sendiri. Namun, hal ini tidak saya jumpai dalam tulisan TJMS. TJMS hanya mengutip pendapat dari Charles Kimball, lalu menunjuk Taliban sebagai sebuah contoh kegagalan penerapan Syariat Islam dalam sebuah negara.


Syariat Islam membawa kebaikan

Dalam paragraf pertama TJMS menuliskan ” …karena ada hukum Tuhan lainnya yang bermain di sini, yaitu perubahan ke arah yang lebih baik dan itu adalah sunnatullah.” Kalimat ini Jafar gunakan untuk membuktikan bahwa bila tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik, pertanda ada yang salah. Dari sini dapat dipahami bahwa bila penerapan Syariat Islam tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik, bisa jadi Syariat Islam boleh dihapuskan. lalu pernyataan TJMS: “… dan apabila sampai pada pembahasan bahwa dengan Syariat Islam itu pula kebaikan tidak bisa terwujud, apakah Syariat Islam perlu dihapuskan? Bisa jadi ya.”
Benar, bahwa kehidupan ini akan selalu mengalami perubahan, tidak ada yang tetap. Tapi, tidak ada yang mengatakan bahwa perubahan itu selalu ke arah kebaikan. Adakalanya perubahan yang terjadi malah menuju kemunduran dan kehancuran. Sehingga, yang menjadi sunnatullah adalah perubahan yang mutlak. Tanpa ada keharusan untuk menuju kebaikan atau kerusakan.

Lain halnya bila yang TJMS maksudkan adalah fitrah manusia yang selalu menginginkan perubahan ke arah kebaikan. Pernyataan seperti ini ma’qul (masuk akal), karena secara naluri kita memang selalu menginginkan kebaikan dan kedamaian. Sehingga menjadikan perubahan kea rah kebaikan itu sendiri bukanlah sebuah ukuran yang tepat untuk mengukur sukses tidaknya pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Selanjutnya mengenai ukuran “kebaikan” yang TJMS maksud itu sendiri, menyebutkan bahwa ukuran apa yang akan digunakan untuk menentukan arah perkembangan Syariat Islam di Aceh. Apakah dengan melihat dari segi keamanan, atau ekonomi, atau pendidikan, ataupun dari segi pengaruhnya terhadap jumlah tindak kriminal judi dan khamar?

Satu hal yang saya ketahui, jumlah tindak kriminal judi dan khamar menyusut tajam setelah pelaksanaan qanun maisir dan judi. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Prof. Muslim Ibrahim ketika berkunjung ke Kairo, tepatnya dalam dialog yang dilaksanakan oleh mahasiswa Indonesia di Mesir. Apakah hal ini bisa termasuk ke dalam “kebaikan” yang dimaksudkan oleh TJMS?

Pasca penerapan Syariat Islam, baru ada dua qanun yang pengaruhnya bisa kita lihat secara jelas. Salah satunya adalah qanun Maisir dan Khamar. Seperti yang saya sebutkan di atas, penerapan qanun ini telah membawa perubahan ke arah kebaikan. Artinya, qanun ini layak untuk dipertahankan. Kecuali jika berkurangnya judi dan khamar tersebut, tidak dianggap sebagai sebuah kebaikan.

Kemudian yang kedua adalah qanun jinayat. Walaupun sudah disahkan oleh DPRA pada 14 September 2009, namun timbul banyak pertentangan terhadap pelaksanaannya. Hingga saat ini setahu saya qanun tersebut belum diterapkan. Sehingga, untuk mengetahui apakah qanun ini membawa kebaikan atau tidak, masih belum tiba saatnya. Namun demikian, dari segi konsep yang ditawarkan oleh qanun tersebut kita dapat memprediksi ke arah mana perubahan yang akan terjadi.

Sampai di sini, saya menyimpulkan bahwa Syariat Islam yang sedang berjalan tidak menunjukkan perubahan Aceh ke arah yang tidak baik. Tapi, bila ada yang mengatakan sebaliknya dengan alasan bahwa saat ini khalwat di masyarakat kian menjadi-jadi, saya akan menjelaskan hal tersebut pada paragraf-paragraf selanjutnya.


Islam tidak pernah dan tidak akan menjadi evil

Dengan mengutip pendapat Charless Kimball, TJMS juga menyimpulkan bahwa Syariat Islam harus kita bersihkan dari beberapa sifat yang disebutkan oleh Charles Kimball. Pertanyaan saya, apakah sifat-sifat tersebut terkandung dalam ajaran Islam? Apakah menjalankan Syariat Islam akan menjadikan Islam jahat dan corrupt? Saya kira tidak pada tempatnya untuk berbicara panjang lebar tentang masalah tersebut dalam tulisan ini. Terlebih lagi, sebagai sesama muslim Aceh kita dengan mudah dapat menemukan apa yang terkandung dalam Islam.
Tanda pertama dari lima tanda yang TJMS kutip adalah: “bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Bila hal ini terjadi, agama tersebut akan membuat apa saja untuk membenarkan dan mendukung klaim kebenarannya.”

Apa artinya bila seseorang mengaku beragama Islam, namun tidak yakin bahwa Islamlah agama yang paling benar? Pengakuan bahwa ada agama lain yang benar selain Islam, sama saja mengatakan bahwa ada Tuhan lain selain Allah. Na’uzubillah min zalik. Dengan kata lain, prinsip tersebut bertolak belakang dengan prinsip “la ilaha illallah” . Sehingga menjadi wajar bila MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan pluralisme.

Abdul Moqsith Ghazali sendiri dalam sebuah tulisannya[2]mengakui bahwa pluralisme agama itu sebenarnya adalah sebuah bentuk pengakuan terhadap eksistensi agama lain, dan berlaku adil terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan. Jadi, pluralisme sama sekali tidak mengatakan bahwa semua agama itu sama. Frans Magnis Suseno, sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Moqsith Ghazali, juga berpendapat bahwa menghormati agama lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama sama.

Selain itu kita juga mengenal bahwa Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai toleransi. Prinsip “la ikraha fid din” menjadi semacam peraturan inti dalam penyebaran agama Islam. Selain itu, “lakum dinukum wa liyadin” menjelaskan bagaimana pandangan Islam terhadap keyakinan para non-muslim. Sehingga agama Islam bisa dikatakan adalah pelopor utama dalam hal toleransi beragama. Bahkan, saya mengatakan bahwa Islam mendukung semangat pluralisme, selama pluralisme di sini tidak berarti mengakui kebenaran agama selain agama Islam.

Sehingga apa yang dikatakan oleh Charles Kimball sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam. Semua orang Islam pasti dan mesti meyakini bahwa tidak ada agama yang haq selain Islam. Namun, dalam Islam tidak ada anjuran untuk memaksa orang lain menjadi Islam atau menganiaya pemeluk agama lain.

Tanda kedua yang disebutkan oleh Teuku Jafar mengatakan bahwa agama menjadi jahat dan corrupt ketika muncul ketaatan buta terhadap pemimpin mereka. Hal ini sama sekali tidak kita dapati dalam sejarah Islam, apalagi dalam ajaran Islam. Sejarah kehidupan Rasulullah Saw. dan Khulafa’ Ar-Rasyidin secara gamblang menceritakan tentang kehidupan yang sangat demokratis. Jauh dari nilai-nilai otoriter dan taklid buta.

Lagi-lagi alasan ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Islam membolehkan rakyatnya untuk menolak tunduk kepada pemimpin bilamana pemimpin tersebut berada di luar koridor Islam. Sehingga kekhawatiran seperti ini sama sekali tidak perlu ada. Islam itu aman, damai, dan demokratis.

Tanda ketiga yang menunjukkan agama bisa menjadi jahat menurut Kimball adalah ketika agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut kedalam zaman sekarang.
Semua manusia merindukan hadirnya sebuah zaman yang ideal. Tidak ada yang salah dengan keinginan tersebut. Walaupun, kita akui bahwa ukuran ideal tersebut berbeda-beda. Mempunyai mimpi untuk memiliki masa depan yang ideal menjadi semangat yang mendasari usaha kita untuk terus menjadi lebih baik.

Seseorang yang hari ini hidup dalam kekurangan, pasti merindukan suatu saat untuk bisa menikmati hidup yang ideal. Apalagi seseorang yang pernah merasakan kehidupan yang ideal, tentu saja keinginan untuk kembali mendapatkan kondisi ideal tersebut ada. Bahkan, bisa jadi lebih besar dari keinginan orang lain.
Islam selama berabad-abad telah merasakan kehidupan yang ideal. Peradaban besar yang Islam wariskan untuk kemanusiaan telah menyelamatkan manusia dari masa kegelapan. Sedangkan pada hari ini kondisi umat Islam sedang berada pada posisi yang lemah. Lalu apakah salah bila umat Islam merindukan kembalinya masa-masa gemilang seperti dulu? Apakah salah bila umat Islam menginginkan hukum-hukum Islam kembali ditegakkan, sehingga mereka bisa menjalankan kehidupan beragama dengan damai dan harmonis?

TJMS mengatakan: ” Zaman ideal itu berlawanan dengan zaman sekarang ketika pemeluk agama hidup, yaitu suatu zaman yang penuh dengan dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-sian.” Ini pernyataan yang salah. Dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-sian juga ada pada zaman dulu. Namun, hukum yang berlaku saat itu mampu mengendalikan hal-hal tersebut. Sehingga, walaupun dosa, kesombongan dan sebagainya terdapat dalam masyarakat, tidak sampai menguasai masyarakat.

Pada zaman sekarang, dosa, kesombongan, khayalan, kelalaian dan kesia-sian itu masih ada. Tapi, hukum yang ada sekarang tidak mampu menjaga keseimbangan dalam masyarakat. Sehingga akhirnya masyarakat dikuasai oleh hal-hal negatif tersebut. Oleh karena itu, langkah yang paling bijak yang harus kita ambil adalah menghadirkan kembali hukum (syari’at) yang terbukti mampu mengendalikan dosa, kesombongan tersebut.
Kerinduan terhadap zaman kegemilangan Islam adalah kerinduan terhadap zaman keharmonisan dan toleransi antar agama. Muslim, Kristen, dan Yahudi pernah hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan hukum Islam. Hari ini, kita semua bermimpi agar masa-masa indah itu kembali, agar pertikaian berdarah antar agama tak lagi ada.

Mengenai masalah perlunya mendirikan sebuah negara Islam, menurut saya adalah suatu keharusan. Namun, saya tidak menyangkal bahwa masalah ini masih bisa kita diskusikan. Mengingat masih ada silang pendapat tentang perlu tidaknya mendirikan sebuah negara Islam. Namun yang pelu kita ingat bahwa berdirinya negara Islam, sama sekali tidak berarti akan terjadi penindasan terhadap agama lain. Buang jauh-jauh pemikiran seperti itu.

Tentang tanda keempat, TJMS menuliskan pendapat Kimball sebagai berikut: ” Tanda keempat tentang agama komponen-komponen dari agama sendiri yang korup adalah apabila agama tersebut membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara.” Hal ini tentu saja tidak diakui dalam Islam.
Ketika Islam membebankan kepada umatnya dengan suatu kewajiban, Islam juga menjelaskan sarana yang boleh digunakan dan yang tidak boleh kita gunakan. Sehingga, bila seseorang melaksanakan kewajibannya dengan menggunakan sarana yang salah, dia tetap akan dianggap bersalah. Seseorang yang meledakkan bom dengan niat berjihad, tidak bisa dibenarkan jika korban yang jatuh adalah orang Islam sendiri, ataupun kafir dzimmi.Jihad ada aturannya dalam Islam. Begitu juga pencuri tidak bisa membenarkan perbuatannya dengan alasan hasil curiannya digunakan untuk membangun mesjid. Dia tetap dianggap pencuri dan berhak mendapat hukuman.

Lagi-lagi tanda seperti ini tidak ada dalam Islam. Sehingga Islam tidak akan pernah menjadi evil , sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Kimball.

Tanda terakhir, diungkapkan oleh TJMS sebagai berikut: ” Dan ketika perang telah dipekikkan itulah tanda kelima bahwa agama telah mejadi korup dan jahat.” Jangankan umat Islam, semut pun akan membalas bila disakiti dan diserang.

Selama 13 tahun rasulullah Saw. Bersama para sahabat bersabar menghadapi gangguan dan penzaliman dari pihak Qurays di Mekah. Baru ketika sampai ke Madinah umat Islam mendapatkan perintah untuk membela diri dengan mengangkat senjata. Ini menunjukkan bahwa perang dalam Islam adalah perang untuk membela diri, bukan bertujuan untuk penjajahan.

Bila hari ini kita menyaksikan perang Iraq, Afghanistan, Palestina dan lain-lain, jelas terlihat bahwa umat muslim di sana sedang melakukan perjuangan membela agama dan tanah air mereka. Sekali lagi, perang dalam Islam bukanlah senjata utama dalam penyebaran Islam. Para orientalis tahu tentang hal ini. Namun, kebencian sebagian mereka terhadap Islam telah mengalahkan kejujuran mereka.

Penjelasan saya terhadap tanda-tanda di atas adalah penjelasan tentang konsep yang saya pahami dari Islam. Ini adalah penjelasan tentang sebuah “car” yang bernama Islam. Tanda-tanda di atas jelas sekali tidak terdapat dalam Islam. Sehingga, kekhawatiran akan ke-evil-an Islam bisa dikatakan sebagai sesuatu yang berlebihan, tidak mendasar, dan terlalu mengada-ada.

Dari sini saya juga menyimpulkan bahwa solusi pluralisme yang ditawarkan oleh Teuku Jafar, tidak pada tempatnya. Islam telah mengenal toleransi agama lebih dari apa yang dipahami oleh kaum pluralis. Pluralisme mungkin saja cocok untuk agama Kristen atau Yahudi, tapi tidak untuk Islam. Toleransi Islam adalah toleransi tanpa kehilangan harga diri. Sedangkan pluralisme adalah toleransi yang mengajarkan untuk membuang rasa percaya diri bahwa agama kita adalah yang paling benar.


Blame the driver, not the car

Bila kita menyalahkan mobil, atau menuntut perusahaan yang memproduksi mobil, kita telah melakukan langkah yang salah. Kenapa salah? Karena mobil yang telah membawa perubahan yang tidak baik bagi kita, pada dasarnya tidak diciptakan dengan tujuan tersebut. Sebaliknya, langkah bijak yang bisa kita ambil adalah menuntut si driver.

Kecuali, jika kita telah memeriksa mobil tersebut dan menemukan bahwa mobil tersebut tidak dilengkapi dengan standar keamanan yang memadai. Bila demikian, peraturannya berubah. Blame the carnot the driver, atau blame both the carand the driver. Kesalahan sidriverjika dia sengaja mengemudikan mobil tersebut, walaupun dia tahu bahwa mobil itu cacat yang bisa membawa perubahan tidak baik terhadap orang lain.
Secara umum, sah-sah saja bila muncul kekecewaan terhadap orang-orang yang berjuang atas nama Islam, namun bukan dengan cara yang islami. Hanya saja, kekecewaan ini seharusnya mengembalikan kita kepada Islam yang sebenarnya. Bukan malah mencari solusi dari para orientalis yang tidak ada hubungan antara mereka dengan Islam. Secanggih apapun pemikiran mereka, yang ditawarkan kepada kita hanyalah pengalaman mereka dari masa kegelapan yang telah mereka lalui. Padahal, khazanah Islam begitu kaya dengan solusi dan sarana untuk menuju kehidupan yang islami, kehidupan yang ideal.

Teuku Jafar juga mengatakan: ” Keinginanan dan pembenaran itu biasanya mendorong para pemeluknya untuk mendirikan suatu negara agama, negara teokratis. Sejarah menunjukkan betapa fatal jika negara teokratis itu benar-benar diwujudkan.” Dari mana TJMS menyimpulkan bahwa negara Islam adalah negara otokrasi?

Sejak awal berdirinya negara Islam Madinah, rasulullah Saw. sudah mengenal sistem musyawarah. Pada saat itu juga sudah terbentuk sebuah badan musyawarah yang terdiri dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan beberapa sahabat yang lain[3]. Sehingga, pendapat yang mengatakan negara Islam adalah negara otokrasi hanyalah tuduhan belaka.

Teuku Jafar juga menjadikan kekuasaan Taliban di Afghanistan sebagai contoh berbahaya dari penerapan Syariat Islam sebagai hukum negara. Kita tidak sedang berdebat tentang benar tidaknya cara pemerintahan Taliban. Namun, yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa Taliban hanyalah salah satu “driver” dari Islam. Bila memang Taliban melakukan kesalahan, bisa saja apa yang Taliban lakukan tidak sesuai dengan konsep dasar dalam Islam. Sehingga tidak layak kesalahan mereka dijadikan alasan untuk mendukung pendapat ketidaklayakan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara.

Sama kejadiannya bila seorang polisi melakukan pungutan liar di jalan. Salah besar jika kita menuntut korps kepolisian karena telah menyuruh anggotanya untuk melakukan pungutan liar. Salahkan si polisi yang jahat tadi, bukan korps kepolisian! Sebagaimana Islam membawa kedamaian ke dunia, begitu juga kepolisian menjaga kedamaian dalam masyarakat. Bila ada salah satu indvidu yang bernaung dibawah institusi Islam atau kepolisian melakukan kejahatan, salahkan individu tersebut. Bukan institusinya.



Penutup

Menjadikan ide pluralisme sebagai jalan keluar terhadap permasalahan Islam di Aceh adalah tindakan yang salah. Saya katakan salah karena tiga hal; Pertama, karena akidah seorang muslim mustahil bisa menerima ide pluralisme. Tidak ada seseorang yang mengaku muslim namun pada saat yang sama dia juga mengakui bahwa Kristen, Yahudi, Hindu dan lain-lain adalah agama yang benar. Kedua, bila memang selama ini Islam terkesan tidak humanis dan cap-cap jelek lainya, maka kesalahannya bukan pada konsep Islam karena Islam adalah agama yang sudah sempurna. Sehingga yang harus dikritisi adalah pemahaman kita terhadap Islam. Ketiga, permasalahan yang ada di Aceh pada hari ini (pluralisme) bukanlah hal yang baru. Mari kita buka kembali khazanah Islam untuk menemukan solusi Islami yang tepat untuk Aceh. Tanpa perlu mengikuti jalan pikiran para orientalis.

Solusi yang kita butuhkan saat ini adalah kembali ke nilai-nilai Islam yang murni. Nilai-nilai yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dan penerusnya. Mari hindari anarkisme dalam menjalankan Syariat Islam. Tunjukkan toleransi tanpa harus kehilangan jati diri sebagai agama yang paling benar.

Di akhir tulisan ini saya mengutip ajaran Al-Quran dalam surat Ali Imran ayat 149, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.”[4] Shadaqallahul adhim wa rasuluhul karim.[]

Tulisan ini sudah di muat di: http://id.acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=815:pluralisme-bukan-solusi-tanggapan-terhadap-tulisan-teuku-jafar-muhammmad-sulaiman&catid=133:paradigma&itemid=280
——————————————————————————–
1] Penulis adalah Mahasiswa Aceh di Al-Azhar University, Kairo. Alumnus MA Ruhul Islam Anak Bangsa. Selain itu saat ini juga tercatat sebagai salah satu penggiat diskusi di Zawiyah KMA Mesir.
[2] http://islamlib.com/id/artikel/islam-dan-pluralitasisme-agama/
[3] Salahuddin Basyuni Ruslan. Qawanin AL-Wizarah ‘inda Al-Mawardi, Penerbit Nahdhah Al-Syarq. Kairo, t.t. Hal. 8
[4] Al-quran dan terjemahannya, komplek Percertakan Mushaf Raja Fahd. Madinah. 1412 H. Hal. 100



Pluralisme Ala Wahyu NH Al_Aly



(Potret Agama dan Sosial)

Apabila kita melihat fenomena kepluralan yang ada di sekitar kita, baik di wilayah cara pandang hingga pada amaliah, sering ditemui “pergulatan” yang mengedepankan “ke-aku-an”, sehingga manakala kubu-kubu yang berbeda dipertemukan dalam “satu meja”, yang demikian bukan saja menjadi masalah yang mempersulit untuk tercapainya toleransi, namun juga menjadikan sebuah “persinggungan” yang lain. Adanya pertemuan keragaman yang demikian bukannya menjadi perenungan akan kenyataan dalam kehidupan, malah seolah perbedaan adalah sebuah benda sandungan yang harus disingkarkan jauh-jauh. Tentu bagi yang menyadari akan fakta ketidaksamaan, memandang kondisi yang demikian akan miris dan sakit. Terlebih lagi telah banyak pakar sosial dan tokoh agama yang mencoba mengusahakan mengentaskan problematika tersebut, namun hingga hari ini masih saja ditemui ketidakakuran, baik individu maupun kelompok. Pada sisi yang lain, adanya pihak yang untuk menjelaskan apa itu pluralisme saja menggunakan penyampaian yang sulit dipahami oleh umum, lebih memainkan kata-kata yang terkesan berat agar dianggap hebat, yang kemudian melahirkan multi tafsir dari audiensnya, yang tanpa disadari menimbulkan “pertarungan” sendiri di antara penafsir-penafsirnya.

Ironisnya lagi, ada pula kalangan pemuka agama maupun para ilmuwan yang justru terjerumus di jurang polemik atas “kepluralan”, yang berlanjut konflik di bawahnya. Semisal, ada pihak dari kalangan ilmuwan yang berusaha melakukan “perekatan” antara agama-agama yang berbeda dengan memberikan argumen bahwasanya semua agama benar dan hanya beda jalan, namun atas pernyataan ilmuwan itu, muncul penolakan dari tokoh agama, dan tokoh agama menganggap pernyataan yang demikian adalah sebuah pelecehan atas kepercayaan masing-masing orang. Tidak mau kalah karena dianggap sebagai penoda agama oleh pihak dari tokoh agama, ilmuwan itu kemudian membuat analogi yang berbeda dengan tokoh agama tentang penodaan atau pelecehan agama. Dari sini berlanjutlah “polemik keras” di antara kedua tokoh itu, hingga berlanjut di kalangan para pengagum-pengagum keduanya. Dengan demikian, sampai sekarang, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain di seluruh dunia, tak terkecuali negara yang konon sangat moderat seperti Amerika, seolah “pluralisme” adalah mutiara yang belum ditemukan. Kalau analogi ini kurang sesuai, maka dengan analogi yang sedikit berbeda, ‘pluralisme” adalah benda yang belum bisa tersentuh secara keseluruhan.

Melalui sedikit alasan di atas, hati saya merasa sangat miris. Oleh karena itulah saya mencoba menawarkan pengertian pluralisme yang saya miliki. Bagi saya, untuk kata “isme”, di sini dipahaminya sebagai kesepakatan. Sehingga saya memahami pluralisme adalah, kesepakatan akan realitas kepluralan. Pengertian pluralisme dari saya memang berbeda dengan istilah yang ada, baik Wikipedia, kamus bahasa Indonesia, maupun buku-buku yang lain. Perbedaan memberikan istilah akan pluralisme ini semoga tidak menjadi tambahan masalah, melainkan dapat dijadikan sebagai “warna lain” dari warna yang ada dalam pengertian “pluralisme”, berharap akan mempercantiknya. Saya mempunyai pengertian yang demikian, karena saya memiliki diri saya sendiri, dan saya mempunyai hak untuk tidak sama. Akan tetapi, pada dasarnya pemahaman saya pun bukanlah hal baru, mengingat di Indonesia sendiri telah lama menslogankan akan terjalinnya persatuan dalam perbedaan, “Bhineka Tunggal Ika.”

Langsung saja. Bagi saya, menyamakan semua agama, atau menganggap semua agama itu benar, itu adalah singularisme. Sedangkan pluralisme menurut saya adalah, menganggap semua agama yang ada di alam ini, itu memang benar nyata keberadaannya. Sehingga pluralisme akan meyakini dan memercayai bahwasanya perbedaan merupakan hukum alam (ciptaan Tuhan), yang bertujuan agar saling kenal dan mengenali, bukan justru memaksakan membuat kesamaan. Pun mereka bisa saling berjalan beriringan tanpa kehilangan warnanya masing-masing. Pentingnya memahami pluralisme, dikarenakan kepercayaan dengan Tuhan merupakan sesuatu yang metafisik yang tidak mungkin dipaksakan antara satu dengan lainnya.

Dengan demikian, diharapkan melalui “pluralisme yang saya maksudkan”, dari masing-masing agama memiliki kepercayaan diri dalam ritualnya masing-masing, tanpa merusak penciptaan warna-warni Tuhan. Dengan kata lain, sosial maksimal tanpa menutupi apalagi mengubah identitasnya masing-masing.

Mudahnya, yang Islam percaya diri dengan identitas Islamnya, yang Kristen, Budha, Hindu, Katolik, dan agama yang lain juga demikian. Semua boleh membuka warnanya masing-masing dengan semangat sosial yang tinggi yang berprinsip pada hakekat “penciptaan”. Sehingga orang Islam yang hidup di kalangan non muslim bisa diajak dan mau bekerjasama tanpa kehilangan keyakinannya. Begitu sebaliknya, orang non Islam yang berada di kalangan orang-orang Islam juga dapat hidup bersama tanpa kehilangan kepercayaannya bahkan boleh menunjukkan identitasnya tanpa ragu apalagi takut! Baik di kalangan formal maupun kultural, toleransi mutlak dipegang erat!!!!

Sedikit bercerita….
Saya, dengan sangat percaya diri, mengatakan bahwasanya diri saya adalah seorang muslim. Saya memiliki sahabat karib Tionghoa bernama Rudi. Dia beragama non muslim. Kemana-mana, saya sering bersama dia. Saya sering berdiskusi dengannya, dari masalah politik, sosial, tentang agama (baik agama yang saya anut, yang dia anut, juga agama yang lain), maupun tema-tema lain yang sedang hangat di masyarakat.
Saya seringkali tidur di rumahnya, begitupun sebaliknya dengan dia. Kami juga sering tidur bersama, minum satu gelas (join) dan lainnya.

Namun demikian, keyakinan yang berbeda antara saya dan Rudi sama sekali tidak mempengaruhi jalinan persahabatan kami. Dia yang bangga dengan kalung salibnya, dan saya yang suka dengan kopyah kultur Arabnya, sama-sama tidak luntur. Bahkan saya juga sering sholat di rumahnya yang dipenuhi dengan aksesoris salib. Saya juga pernah beberapa kali di tempatnya membaca Al-Qur’an dengan suara yang “merdu” (dilantunkan dengan suara yang cukup terdengar). Begitu halnya Rudi, teman dekat saya ini juga sering melantunkan lagu-lagu gereja di tempat saya.

Tentunya, dengan perbedaan keyakinan ini, saya pernah berkata kepada sahabat saya, Rudi, kalau orang di luar Islam pasti masuk neraka, termasuk Rudi. Pun dengan Rudi, dengan membawa keyakinannya, mengatakan yang sebaliknya akan hal itu. Dia berkata kalau saya pasti masuk neraka, melihat agama yang dianut. Melalui perbedaan yang berasas saling menghormati atas nama ciptaan Tuhan, hubungan kami tetap terjalin dan mesra selayaknya seorang teman. Inilah pluralisme agama yang saya maksud. Langkah ini juga bisa dikembangkan lebih luas pada perbedaan-perbedaan yang lain….


NB: Warna-warni Tuhan adalah bukti cinta Tuhan. Apabila Tuhan tidak memaksa kepada yang diciptakan untuk menyembah-Nya, mengapa justru dari yang diciptakanlah yang saling memaksa untuk menyembah pencipta-Nya. Biarlah masing-masing dari kita menentukan pilihannya masing-masing….

Oleh: 
Wahyu NH. Al_Aly

Sumber: kompasiana.com

 

Pluralisme, Paham yang Terbantahkan



Islam, -sebagai agama yang diridhai oleh Allah-, tidak henti-hentinya menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan yang cukup serius adalah tantangan di bidang pemikiran keagamaan, baik internal maupun eksternal.

Kita sudah mafhum, fanatisme, taklid buta, bid’ah, dan khurafat (kesyirikan) telah menjadi tantangan internal bagi Islam. Namun, masuknya pluralisme[1] ke dalam wacana pemikiran Islam telah menjadi salah satu tantangan eksternal yang sangat berbahaya karena berusaha meruntuhkan konstruksi tauhid dalam Islam.


Misi Tauhid = Misi Para Nabi

Pembaca yang dimuliakan Allah, Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kesyirikan menuju tauhid sebagaimana Dia mengutus para nabi dan rasul sebelum beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah segala bentuk penyembahan kepada thaghut.” (An Nahl: 36).

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa tujuan diutusnya setiap rasul adalah untuk mengeluarkan manusia dari kesyrikan menuju tauhid, dari penyembahan kepada makhuk menuju penyembahan hanya kepada Allah Ta’ala. Tujuan inilah yang menjadi titik temu antara ajaran agama yang dibawa oleh setiap nabi, dari yang pertama hingga nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah mengutus seorang rasul untuk setiap umat, di setiap generasi dan golongan, mereka semua menyeru (umatnya) untuk beribadah kepada Allah dan melarang untuk beribadah kepada selain-Nya. Maka Allah senantiasa mengutus para rasul-Nya untuk mendakwahkan hal tersebut sejak munculnya kesyirikan pertama kali pada anak Adam, yaitu pada kaum nabi Nuh. Beliaulah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi hingga Allah mengakhiri para rasul tersebut dengan pengutusan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dakwahnya diperuntukkan bagi jin dan manusia, baik yang berada di Timur dan di Barat sebagaimana disinyalir Allah Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al Anbiya: 25)”.[2]

Oleh karena itu, dapat kita jumpai Al Quran sering memberitakan seruan utama para rasul kepada kaumnya yang berisi ajakan untuk menauhidkan Allah dan menjauhi lawannya, yaitu kesyirikan.[3]


Konsepsi Keimanan dalam Islam

Ironisnya, setelah dakwah tauhid menghampiri mereka, umat-umat dari setiap nabi meninggalkan atau menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka mengganti tauhid yang diajarkan oleh para nabi tersebut dengan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka menjadikan nabi-nabi tersebut, yang telah mengajarkan tauhid kepada mereka, sebagai sembahan di samping Allah Ta’ala. Mereka telah meninggalkan konsepsi tauhid yang merupakan konsepsi keimanan seluruh nabi yang diutus oleh Allah Ta’ala. Jadilah mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah Ta’ala (musyrikin). Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara Islam dengan agama selain Islam.
Diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk meluruskan penyimpangan tauhid tersebut. Beliau diutus untuk menegakkan konsepsi tauhid para nabi dan itu ditegaskan secara gamblang dalam surat Al Ikhlas (yang artinya), “Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS. Al Ikhlas: 1-4).

Inilah konsepsi tauhid dalam Islam dan merupakan pondasi dasar keimanan seorang muslim. Sangat berbeda dengan konsepsi keimanan Yahudi dan Nasrani. Meskipun kita sama-sama meyakini bahwa Allah adalah sembahan kita, adanya hari berbangkit, yang di sana kita akan bertanggungjawab atas perbuatan kita di hadapan Allah Ta’ala. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara kita dengan mereka. Allah telah memberitakan perbedaan yang mendasar tersebut.

Allah Ta’ala befirman (yang artinya), “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al masih itu putera Allah.” (QS. At Taubah: 30).
Ayat ini memberitakan bahwa keimanan mereka sangatlah berbeda dengan apa yang difirmankan Allah dalam surat Al Ikhlas di atas.

Mereka beriman kepada Allah, namun keimanan mereka kepada Allah dicampurkan dengan kesyirikan. Allah telah menyatakan hal itu dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)” (QS. Yusuf: 106).

Betul, mereka meyakini eksistensi Allah dan meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan penguasa di alam semesta. Namun, mereka memiliki sembahan selain daripada Allah Ta’ala. Dengan demikian, keimanan mereka kepada Allah adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan, sehingga keimanan mereka pun adalah keimanan yang batil, keimanan yang rusak, karena keimanan tersebut bukanlah keimanan yang murni mentauhidkan Allah ta’ala.

Pembaca yang dimuliakan Allah, konsepsi tauhid inilah yang telah membedakan Islam dengan agama selain Islam. Konsepsi inilah yang membuat Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhai oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali ‘Imran: 19).


Klaim yang Terbantahkan

Pembaca yang dimuliakan Allah, sudah jelas bahwa terdapat perbedaan berarti antara Islam dengan agama-agama selainnya. Oleh karenanya, sungguh aneh masih saja ada kalangan yang hendak menyamakan antara Islam dengan agama selainnya, terutama dengan apa yang mereka sebut sebagai agama-agama samawi (langit)[4]. Sebagian pengusung paham ini justru berani mengklaim bahwa agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Padahal, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat menilai bahwa pernyataan tersebut sangat jelas salahnya. Bahkan, klaim bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang membawa misi tauhid adalah klaim yang sangat tidak tepat, mengingat keduanya justru tidak menegakkan ajaran tauhid, namun menegakkan lawannya, yaitu kesyirikan.

Para pengusung paham ini sering mencomot dalil-dalil dalam Al Quran kemudian melakukan “malpraktik penafsiran”[5] untuk mendukung paham mereka sehingga umat Islam terkelabui. Salah satu dalil[6], -tepatnya dalih-, yang sering diangkat untuk membenarkan klaim mereka bahwa semua agama sama adalah firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah: 62).
Berdasarkan ayat ini, kaum pluralis menyimpulkan bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, melakukan amal kebaikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, keimanan kepada Allah, hari akhir dan moralitas yang baik adalah prinsip dasar bagi benarnya keberagamaan seseorang. Oleh sebab itu, meskipun seseorang secara formal tidak memeluk dan menjalankan syari’at Islam, namun bila ia mempunyai tiga prinsip dasar tersebut maka ia akan mendapatkan keselamatan.[7]


Kesimpulan tersebut tidak tepat berdasarkan alasan berikut:

Pertama: Ibnu Katsir rahimahullah telah membawa riwayat dari As Suddi. Beliau menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan para sahabat Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu. Dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para sahabatnya melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Salman, mereka adalah ahli neraka.” Hal itu terasa berat di hati Salman. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut. As Suddi kembali melanjutkan bahwa dengan demikian keimanan Yahudi (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa ‘alaihissalam sampai datangnya ‘Isa ‘alaihissalam. Ketika ‘Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti ‘Isa, maka dia adalah orang yang celaka. Dan keimanan Nasrani (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat ‘Isa, maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima – imannya – sampai datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, siapa yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari mereka, dan meninggalkan ajaran ‘Isa dan Injil dia menjadi orang yang celaka.[8]
Ayat ini tidaklah bertolak belakang dengan firman-Nya dalam surat Ali ‘Imran ayat 19. Ibnu Katsir menandaskan bahwa ayat di surat Ali ‘Imran itu merupakan pemberitaan bahwa setelah nabi Muhammad diutus, segala bentuk jalan (thariqah) atau amal yang dilakukan seorang tidak akan diterima oleh Allah melainkan harus sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun, sebelum diutusnya beliau, siapa saja yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam suatu petunjuk, jalan kebenaran, dan keselamatan.
Jadi, ayat ini terkait dengan umat Yahudi dan Nasrani sebelum diutusnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, setelah diutusnya beliau, keabsahan iman umat Yahudi dan Nasrani tergantung keimanan mereka kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika mereka menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dengan demikian, keimanan kepada Allah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Ayat-ayat Al Quran saling menjelaskan satu sama lain. Sehingga, tidak sepatutnya kita mencomot salah satu ayat tanpa menghiraukan ayat yang lain. Kaum pluralis ini hendak menyamakan keimanan Islam dengan agama-agama lainnya. Tapi, apakah bentuk keimanan kita sama dengan bentuk keimanan mereka? Jawabnya adalah tidak. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya. Allah memberitakan perihal Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani (yang artinya), “Maka jika mereka beriman seperti keimanan kalian, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Baqarah: 137).
Firman Allah ini jelas menyatakan keimanan mereka tidaklah sama dengan keimanan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk sebelum beriman seperti keimanan kaum muslimin.

Ketiga: Meskipun mereka beriman kepada Allah, tapi bentuk keimanan mereka adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan. Oleh karena itu, Allah mengecap mereka dengan kekufuran.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam.” (QS. Al Maidah: 17).
Beriman kepada Allah akan tetapi juga beriman kepada tuhan selain Allah itu adalah kesyrikan kepada Allah dan itu merupakan kekufuran. Maka tidak ada bedanya antara orang-orang-orang kafir Quraisy dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, tidak ada beda di antara mereka, karena mereka adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al Bayyinah: 6).

Keempat: Dengan adanya penyimpangan tersebut, Allah pun mengutus nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperjuangkan, mendakwahkan, dan menegakkan Islam sehingga Islam menjadi agama yang paling tinggi.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. Ash Shaf: 9).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah menyatakan, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku, baik dia adalah serang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, niscaya dia termasuk ke dalam penduduk neraka.”[9]


Luntur dengan Sendirinya

Demikianlah, para pembaca yang dimuliakan Allah, uraian mengenai kebatilan pluralisme. Paham ini sebenarnya berusaha untuk melunturkan akidah kaum muslimin dengan menggiring secara perlahan-lahan, menggunakan bahasa yang indah memukau, yang dibungkus dengan slogan toleransi beragama. Namun, pada hakekatnya, hal tersebut merupakan upaya untuk menanggalkan akidah kaum muslimin, karena keimanan seorang yang mengamini paham tersebut bisa luntur dengan sendirinya, tanpa intervensi (paksaan) dari pihak lain. Wal ‘iyadzu billah.

Jika dikatakan bahwa pluralisme ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai konflik kekerasan antar umat beragama yang kerap terjadi karena enggan menghargai keberagaman. Maka hal ini dapat dijawab bahwa Islam telah mencontohkan bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda-beda. Sejarah telah mencatat kegemilangan Islam dalam hal ini. Islam menghargai keberagaman, tapi hal itu bukan berarti kaum muslimin harus menanggalkan akidah bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan memberikan keselamatan bagi umat manusia. Konsep menghargai keberagaman (pluralitas) tanpa membenarkan pluralisme itupun banyak ditunjukkan dalam ayat-ayat yang menerangkan tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Dalam konsep Islam, siapa yang mau beriman, silahkan beriman, siapa yang mau kafir, silahkan kafir. Akibatnya tanggung sendiri.[10][11] 
Wallahul muwaffiq.

Oleh: Muhammad Nur Ichwan Muslim
_____________
[1] Paham yang menyatakan semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, dalam pengertian yang lain, pengusungnya menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga -karena kerelatifannya- maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. [Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama; Dr. Adian Husaini].
[2] Tafsir al Quran al ‘Azhim; Maktabah Asy Syamilah.
[3] Mengenai hal tersebut, pembaca dapat melihat surat Al A’raaf dimulai dari ayat 59 dst.
[4] Istilah “agama samawi” (agama langit) ini pun sebenarnya merupakan istilah yang rancu, karena pada hakekatnya agama yang dibawa oleh nabi Musa dan Isa adalah agama Islam, tapi dengan bentuk syari’at yang berbeda satu sama lainnya. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kemudian untuk menyempurnakan ajaran keduanya. Syaikh Shalih alusy Syaikh hafizhahullah memiliki pemaparan ringkas yang sangat bermanfaat dan disertai berbagai dalil mengenai hal ini dalam Syarh Fadl al Islam hlm. 57-59.
[5] Para pengusung paham ini sering menafsirkan ayat-ayat Alquran tanpa ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga antikemajemukan beragama. Dan, di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung pluralisme. [Pluralisme Agama; Tiar Anwar Bachtiar].
[6] Pembaca yang berkeinginan melihat lebih lanjut analisa berbagai ayat yang dipelintir oleh kaum pluralis dapat melihat artikel saudara kami, Abu Mushlih, yang berjudul Tumbangnya Pokok-Pokok Pluralisme dan artikel Bapak Muhammad Nurdin Sarim yang berjudul Telaah Kritis Pluralisme Agama.
[7] Telaah Kritis Pluralisme Agama hlm. 9; Muhammad Nurdin Sarim.
[8] Tafsir al Quran al ‘Azhim; Maktabah Asy Syamilah.
[9] HR. Muslim: 153.
[10] Al Kahfi: 29.
[11] Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama.


Sumber: buletin.muslim.or.id 

Related Posts with Thumbnails